Rabu, 23 November 2011

Makalah " Ekonomi Islam "




KATA PENGANTAR

Puji sykur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat-Nyalah, penulis dimampukan untuk menyusun makalah ini dengan segala kendala dan halangan yang ada sesuai dengan garis-garis besar program pengajaran yang telah terlampir dalam rencana pengajaran Pendidikan Agama Islam.
Melalui makalah ini, kami berharap agar kami sendiri dapat memperoleh manfaat yang diharapkan dan bagi Mahasiswa dapat memperoleh ketuntasan belajar sekaligus akan memudahkan para Dosen dalam mengelola kegiatan pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode penyajian.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat di harapkan demi penyempurnaan makalah ini.


Surabaya, 22 September 2011

   Penulis



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah
Sosialisme sebagai ideologi dunia boleh dikatakan telah runtuh walau masih ada negara yang menganutnya, yaitu sejak keruntuhan komunis/ sosialis Sovyet pada awal tahun 1990-an. Dengan demikian, saat ini ideologi yang mendominasi dunia adalah ideologi Kapitalisme yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Apakah itu menandakan, bahwasannya Kapitalisme sebagai ideologi keluar sebagai pemenang dan akan bertahan lama? Orang banyak menganggap demikian, tetapi sebenarnya Kapitalisme-pun sebagai sebuah ideologi akan mengalami kehancuran seperti apa yang diramalkan oleh Marx. Karena bentuk dan pertumbuhan kapitalisme historis seperti yang diramalkannya, misalnya terjadinya konsentrasi dan sentralisasi kekuatan kapital dan terciptanya kemiskinan yang cukup luas pada saat ini telah terjadi.
Memang secara global, sistem ekonomi yang lahir dari ideologi Kapitalis ini berangkat dari asumsi bahwa tujuan seluruh aktivitas ekonomi adalah (semata-mata) untuk mengejar puncak kenikmatan yang bersifat materi, suatu pemikiran yang lahir dari motivasi manusia yang terendah (gharizah baqa==naluri mempertahankan diri). Berikutnya, kita dapati realitas masyarakat yang  mengadopsi pemikiran ini, akan senantiasa berusaha meraih nilai materi yang  sebesar-besarnya, -bahkan bila perlu- dengan menghalalkan segala macam cara.  Selanjutnya, terbentuklah sekelompok kecil kaum kapitalis yang mendominasi  sejumlah besar orang yang telah bekerja keras dan senantiasa hidup dalam kegelisahan, yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan dan tak mampu memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) mereka Sedangkan dalam menghadapi problematika yang ada, ekonomi Kapitalis tidak bisa menjawab krisis yang terjadi di dunia. Misalnya dalam menghadapi krisis yang terjadi sejak pertengan tahun 1997 sistem Kapitalisme gagal dalam memulihkan kembali ekonomi bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi. Hal itu dapat dilihat, bagaimana badan internasional, seperti IMF, World Bank, WTO, yang menangani negara-negara yang kena krisis, belum menunjukkan pulihnya ekonomi negara yang ditangani oleh badan dunia tersebut. Sebaliknya, hasil riset Johnson dan Schaefer (1997) menunjukkan selama 1965-1995, perekonomian 48 dari 89 negara yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi lebih miskin. Lebih menyedihkan lagi, negara-negara tersebut telah menjadi pasien IMF selama puluhan tahun. (Sunarsip, ?Seputar Konspirasi IMF?, Republika 20 Juni 2001).
Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa depresi besar (great depression) pada tahun 1929 yang akhirnya memunculkan aliran Keynes yang menggantikan aliran Klasik (Adam Smith, dkk). Dan sekarangpun aliran Keynes tidak bisa menjawab krisis ekonomi yang terjadi, sehingga banyak orang mulai mencari pengganti dari sistem Kapitalisme. Dan ini sebuah indikasi, bahwasannya sistem Kapitalisme akan runtuh jika ada alternatif terpercaya yang siap menggantinya.
Sebenarnya, jauh-jauh sebelum ideologi Kapitalisme dan Sosialisme yang muncul akibat sekularisme (pemisahan antara kehidupan dan agama), Islam telah menawarkan dan merealisasikan konsep sistem pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga masyarakat, cara penanganan kemiskinan, perwujudan kesejahteraan hidup, dan lain sebagainya. Islam tidak berangkat dari keprihatinan sosial, yang bersifat nisbi dan kondisional atau berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial dan kemanusiaan semata.
Pada artikel ini, akan diberikan gambaran tentang ekonomi Islam sebagai sebuah aturan (nizam) yang dapat memecahkan problematika kehidupan manusia, yang bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan kehidupan ini (aqidah). Islam memandang bahwa manusia memiliki keterikatan dengan hokum dan tata aturan dari Pencipta Alam Semesta ini.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan,maka rumusan masalah dari Makalah ini adalah :
  1. Apa itu Ekonomi Islam?
  2. Bagaimanakah sistem ekonomi islam dalam menjamin kesejahteraan umat?
  3. Bagaimanakah cara memanajemen Zakat, Infak, Shadaqah, dan Wakaf?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai Ekonomi Islam, bagaimana  sistem Ekonomi Islam dapat menjamin kesejahteraan umat, dan  memanajemen Zakat, Wakaf, Shadaqah, dan Infak.

1.4  Metode Penulisan Makalah
Metode penelitian dan pengumpulan data dalam makalah ini di lakukan dengan sistim dokumentatif, yaitu mengambil referensi bahan dari beberapa sumber yang teleh di rangkum

1.5  Pembatasan Masalah
Dalam Pembuatan Makalah ini, penulis hanya akan mengulas dan membatasi masalah seputar Ekonomi Islam.

1.6  Manfaat Penulisan Makalah
Ada beberapa manfaat yang bisa diambil dri penulisan makalah ini. Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna :
1.      Bagi tim penulis Dalam meningkatkan pemahaman mengenai Aspek-aspek penunjang dalam melaksanakan dan mengaplikasikan Ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Bagi Mahasiswa Sebagai salah satu acuan untuk bisa memahami bab Aspek-aspek penunjang dalam melaksanakan dan mengaplikasikan Ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.







BAB II
PEMBAHASAN


III.I   Sistem Ekonomi dan Kesejahteraan Umat
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Sistem Ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan sistem ekonomi kufur buatan manusia. Sistem ekonomi Islam adalah sempurna kerana berasal dari wahyu, dan dari segi pemilikan, ia menerangkan kepada kita bahawa terdapat tiga jenis pemilikan :
·         Hak Milik Umum: meliputi mineral-mineral dalam bentuk pepejal, cecair dan gas termasuk petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di dalam perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif tenaga serta industri-industri berat. Semua ini merupakan hak milik umum dan wajib diuruskan (dikelola) oleh Daulah Islamiyah(negara) manakala manfaatnya wajib dikembalikan kepada rakyat
·         Hak Milik Negara meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara syar’ie dari warganegara, bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangan dan aktiviti industri, di luar dari lingkungan pemilikan umum di atas. Negara membelanjakan perolehan tersebut untuk kemaslahatan negara dan rakyat
·         Hak Milik Individu: selain dari kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta lain boleh dimiliki oleh individu secara syar’ie dan setiap individu itu perlu membelanjakannya secara syar’ie juga.
Secara dasarnya, pengelolaan kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki mencakup dua kegiatan, iaitu:
1.      Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
Pembelanjaan harta (infaqul mal) adalah pemberian harta kekayaan yang telah dimiliki. Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah (harus). Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2.      Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal)
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu adalah hak negara (Daulah Islamiyah), kerana negara (Daulah Islamiyah) adalah wakil ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelola kepemilikan umum tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (Daulah Islamiyah) dan kepemilikan individu, nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari' juga telah memperbolehkan negara (Daulah Islamiyah) dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lai Kerana edaran harta kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme edaran harta kekayaan terwujud dalam hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan perkhidmatan bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (contohnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (contohnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu keperluan, boleh menyebabkan perbedaan edaran harta kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam edaran harta kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa hanya harta kekayaan teredar kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan harta, seperti emas dan perak.
Oleh kerana itu, syara' melarang berputarnya kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara' juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-Taubah : 34)

III.II Manajemen Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Wakaf
Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” atau “pensucian”. Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.

Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.

Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).

Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :

Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan. Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :

“Al wasilatu ilal haram haram”

“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :

“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”

“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.

Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :

“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).

Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.

Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).

Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :

“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”

“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)

Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)

Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.

PERSYARATAN UMUM UNTUK PENDAYAGUNAAN HARTA WAKAF
Karena aktivitas pendayagunan harta, sebagaimana biasanya, akan menemui dua hal, keuntungan atau kerugian; dan mayoritas kegiatan pendayagunaan harta, baik yang dilakukan oleh Negara ataupun badan usaha milik Negara, jika tidak sampai rugi berat maka keadaannya tidak seperti yang diharapkan dan tidak pula mencapai keadaan istimewa; dan karena harta wakaf adalah termasuk harta ummat yang memiliki fungsi social umum; harta wakaf memiliki sifat-sifat khusus yang tidak sama dengan harta manusia pada umumnya, maka kami memandang bahwa pandangan para fuqaha (ulama ahli fiqih) yang mulia, seluruhnya mengatakan tidak bolehnya mem-posting harta wakaf dalam program pendayagunaan dalam sektor usaha jika hasilnya kecil atau tidak sebanding dengan nilai harta wakaf itu sendiri.

KRITERIA PENGELOLA WAKAF DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WAKAF
Yang dimaksud di sini adalah perusahaan atau lembaga harus memiliki aspek legalitas hukum, independent, tidak memiliki ketergantungan dengan pemiliknya atau serikatnya; adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak dan kewajiban terhadap harta wakaf tersebut; dan yang memiliki tanggung jawab secara terbatas hanya kepada harta/modal tersebut semata.Model pengelolaan harta wakaf ini, secara fiqh, dengan pengelolaan diserahkan kepada institusi independent telah menciptakan perkembangan terhadap harta wakaf itu sendiri pada abad-abad pertama Islam, dan telah memberikan sumbangan yang nyata kepa.da perkembangan peradaban ummat Islam ini, mampu menjaga dan memelihara sebagian besar kebutuhan asasi masyarakat Islam sebagaimana yang diinginkan oleh ummat dalam sisi pengembangan, semisal pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit-rumah sakit. Dan sebagian lembaga pengelola wakaf dan waris khusus memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan amal dan layanan karitas (charity services).
Maka, model pengelolaan ini, secara fiqh, memiliki nilai lebih dalam 2 (dua) aktivitas: pengelolaan harta wakaf dan layanan sosial, dan ini lebih unggul jika dibandingkan dengan pengelolaan wakaf secara pribadi. Yang paling mencolok adalah bahwa pengelolaan wakaf secara institusi, akan lebih kontinyu daripada jika dikelola secara pribadi; lebih optimal dan lebih berkembang, lebih jelas dalam tahapan pencapaian tujuan, lebih mudah untuk diaudit dan evaluasi, baik internal maupun eksternal, serta bisa di-reform dalam sisi manajerialnya demi efektivitas audit internal. Kesemuanya ini akan bermuara pada akselerasi dan perkembangan institusi-institusi pengelolaan wakaf.
  




BAB III
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Perekonomian Islam ialah ekonomi menurut undang-undang Islam. Adanya dua paradigma untuk memahami Perekonomian Islam, dengan satunya menganggap rangka politik Islam (iaitu Khilafah), dan yang lain itu menganggap rangka politik bukan Islam yang melahirkan suatu paradigma yang bertujuan untuk menyepadukan sesetengah rukun Islam yang terkenal ke dalam sebuah ra     sumber untuk mencapai negara memainkan peranan yang jelas terhadap pengawasan, percukaian, pengurusan harta awam dan memastikan peredaran kekayaanngka ekonomi sekular.
 Paradigma pertama bertujuan untuk mentakrifkan semula masalah ekonomi sebagai suatu masalah pengagihan:
  • keperluan-keperluan asas dan mewah para orang perseorangan di dalam masyarakat;
  • membina pasaran etika yang mempunyai persaingan kerjasama;
  • memberikan ganjaran kepada penyerta-penyerta kerana terdedah kepada risiko dan/atau liabiliti;
  • membahagikan harta-harta secara adil antara kegunaan awam dan kegunaan peribadi; dan

4.2 Saran
            Dari uraian diatas maka kami dari kelompok 9 menyarankan pembaca agar sebagai seorang muslim hendaknya kita melakukan perekonomian yang sesuai dengan ajaran Islam serta kita sebagai seorang mukmin wajib mengeluarkan zakat dan hendaknya kita juga mengeluarkan infaq dan sadaqoh sebaga tabungan kita kelak di hari akhir karena kita telah ketahui bahwa salah satu amal yang tidak akan terputus walaupun kita telah meninggal dunia yaitu infaq/sodaqoh yang bermanfaat untuk kebaikan.





REFERENSI

·         Disampaikan pada acara Diskusi Publik, yang diselenggara oleh Hizbut Tahrir Australia, di Masjid al-Hijrah, Sydney, Australia.
  • Istitsmar Al-Waqf wa Thuruquhu Al-Qadimah wa Al-Haditsah, Prof. Dr. Ali Muhyiiddin Al-Qarrah Daghy, Maktabah Misykah Al-Islamiyah (Guru Besar Fak. Syariah- Qatar University, Anggota Majami’ Fiqhiyyah, Anggota Majelis Eropa untuk Fatwa dan Penelitian Islam).
·         http://candra-pacitan.blogspot.com/2009/04/zakat-infaq-dan-shodaqoh.html


1 komentar:

  1. maf boleh kah aku mengambil inti dari makalah tersebut buat tugas kuliah saya trmakash

    BalasHapus