KATA PENGANTAR
Puji sykur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa karena limpahan rahmat-Nyalah, penulis dimampukan untuk menyusun
makalah ini dengan segala kendala dan halangan yang ada sesuai dengan
garis-garis besar program pengajaran yang telah terlampir dalam rencana
pengajaran Pendidikan Agama Islam.
Melalui makalah ini, kami berharap agar kami sendiri
dapat memperoleh manfaat yang diharapkan dan bagi Mahasiswa dapat memperoleh
ketuntasan belajar sekaligus akan memudahkan para Dosen dalam mengelola
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode penyajian.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat di harapkan demi
penyempurnaan makalah ini.
Surabaya, 22 September 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sosialisme sebagai ideologi dunia boleh dikatakan
telah runtuh walau masih ada negara yang menganutnya, yaitu sejak keruntuhan
komunis/ sosialis Sovyet pada awal tahun 1990-an. Dengan demikian, saat ini
ideologi yang mendominasi dunia adalah ideologi Kapitalisme yang dipelopori
oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Apakah itu menandakan, bahwasannya Kapitalisme
sebagai ideologi keluar sebagai pemenang dan akan bertahan lama? Orang banyak
menganggap demikian, tetapi sebenarnya Kapitalisme-pun sebagai sebuah ideologi
akan mengalami kehancuran seperti apa yang diramalkan oleh Marx. Karena bentuk
dan pertumbuhan kapitalisme historis seperti yang diramalkannya, misalnya
terjadinya konsentrasi dan sentralisasi kekuatan kapital dan terciptanya
kemiskinan yang cukup luas pada saat ini telah terjadi.
Memang secara global, sistem ekonomi yang lahir dari
ideologi Kapitalis ini berangkat dari asumsi bahwa tujuan seluruh aktivitas
ekonomi adalah (semata-mata) untuk mengejar puncak kenikmatan yang bersifat
materi, suatu pemikiran yang lahir dari motivasi manusia yang terendah
(gharizah baqa==naluri mempertahankan diri). Berikutnya, kita dapati realitas
masyarakat yang mengadopsi pemikiran
ini, akan senantiasa berusaha meraih nilai materi yang sebesar-besarnya, -bahkan bila perlu- dengan
menghalalkan segala macam cara. Selanjutnya,
terbentuklah sekelompok kecil kaum kapitalis yang mendominasi sejumlah besar orang yang telah bekerja keras
dan senantiasa hidup dalam kegelisahan, yang sebagian besar hidup dalam
kemiskinan dan tak mampu memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs) mereka Sedangkan dalam
menghadapi problematika yang ada, ekonomi Kapitalis tidak bisa menjawab krisis
yang terjadi di dunia. Misalnya dalam menghadapi krisis yang terjadi sejak
pertengan tahun 1997 sistem Kapitalisme gagal dalam memulihkan kembali ekonomi
bagi negara-negara yang terkena krisis ekonomi. Hal itu dapat dilihat,
bagaimana badan internasional, seperti IMF, World Bank, WTO, yang menangani
negara-negara yang kena krisis, belum menunjukkan pulihnya ekonomi negara yang
ditangani oleh badan dunia tersebut. Sebaliknya, hasil riset Johnson dan
Schaefer (1997) menunjukkan selama 1965-1995, perekonomian 48 dari 89 negara
yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara
tersebut justru menjadi lebih miskin. Lebih menyedihkan lagi, negara-negara
tersebut telah menjadi pasien IMF selama puluhan tahun. (Sunarsip, ?Seputar
Konspirasi IMF?, Republika 20 Juni 2001).
Hal itu mengingatkan kita pada peristiwa depresi
besar (great depression) pada tahun 1929 yang akhirnya memunculkan aliran
Keynes yang menggantikan aliran Klasik (Adam Smith, dkk). Dan sekarangpun
aliran Keynes tidak bisa menjawab krisis ekonomi yang terjadi, sehingga banyak
orang mulai mencari pengganti dari sistem Kapitalisme. Dan ini sebuah indikasi,
bahwasannya sistem Kapitalisme akan runtuh jika ada alternatif terpercaya yang
siap menggantinya.
Sebenarnya, jauh-jauh sebelum ideologi Kapitalisme
dan Sosialisme yang muncul akibat sekularisme (pemisahan antara kehidupan dan
agama), Islam telah menawarkan dan merealisasikan konsep sistem pemeliharaan
dan pengaturan urusan rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga
masyarakat, cara penanganan kemiskinan, perwujudan kesejahteraan hidup, dan
lain sebagainya. Islam tidak berangkat dari keprihatinan sosial, yang bersifat
nisbi dan kondisional atau berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan semata.
Pada artikel ini, akan diberikan gambaran tentang
ekonomi Islam sebagai sebuah aturan (nizam) yang dapat memecahkan problematika
kehidupan manusia, yang bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan
kehidupan ini (aqidah). Islam memandang bahwa manusia memiliki keterikatan
dengan hokum dan tata aturan dari Pencipta Alam Semesta ini.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dikemukakan,maka rumusan masalah dari Makalah ini adalah :
- Apa
itu Ekonomi Islam?
- Bagaimanakah
sistem ekonomi islam dalam menjamin kesejahteraan umat?
- Bagaimanakah cara memanajemen Zakat, Infak, Shadaqah, dan Wakaf?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai Ekonomi
Islam, bagaimana sistem Ekonomi Islam
dapat menjamin kesejahteraan umat, dan
memanajemen Zakat, Wakaf, Shadaqah, dan Infak.
1.4
Metode Penulisan Makalah
Metode
penelitian dan pengumpulan data dalam makalah ini di lakukan dengan sistim
dokumentatif, yaitu mengambil referensi bahan dari beberapa sumber yang teleh
di rangkum
1.5
Pembatasan Masalah
Dalam Pembuatan Makalah ini, penulis hanya akan
mengulas dan membatasi masalah seputar Ekonomi Islam.
1.6
Manfaat Penulisan Makalah
Ada
beberapa manfaat yang bisa diambil dri penulisan makalah ini. Dengan penelitian
ini diharapkan dapat berguna :
1. Bagi tim penulis Dalam meningkatkan
pemahaman mengenai Aspek-aspek penunjang dalam melaksanakan dan mengaplikasikan
Ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
2. Bagi Mahasiswa Sebagai salah satu acuan
untuk bisa memahami bab Aspek-aspek penunjang dalam melaksanakan dan
mengaplikasikan Ekonomi Islam dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
III.I Sistem Ekonomi dan Kesejahteraan Umat
Ekonomi Islam
merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Sistem Ekonomi Islam berbeda sama
sekali dengan sistem ekonomi kufur buatan manusia. Sistem ekonomi Islam adalah
sempurna kerana berasal dari wahyu, dan dari segi pemilikan, ia menerangkan
kepada kita bahawa terdapat tiga jenis pemilikan :
·
Hak Milik Umum: meliputi
mineral-mineral dalam bentuk pepejal, cecair dan gas termasuk petroleum, besi,
tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di dalam perut bumi atau di
atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif tenaga serta
industri-industri berat. Semua ini merupakan hak milik umum dan wajib diuruskan
(dikelola) oleh Daulah Islamiyah(negara) manakala manfaatnya wajib dikembalikan
kepada rakyat
·
Hak Milik Negara meliputi segala
bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara syar’ie dari warganegara,
bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangan dan aktiviti industri, di
luar dari lingkungan pemilikan umum di atas. Negara membelanjakan perolehan tersebut
untuk kemaslahatan negara dan rakyat
·
Hak Milik Individu: selain dari
kedua jenis pemilikan di atas, harta-harta lain boleh dimiliki oleh individu
secara syar’ie dan setiap individu itu perlu membelanjakannya secara syar’ie
juga.
Secara dasarnya, pengelolaan
kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki mencakup dua kegiatan, iaitu:
1.
Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
Pembelanjaan
harta (infaqul mal) adalah pemberian harta kekayaan yang telah dimiliki. Dalam
pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa
harta tersebut haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah
keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah
sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk
hal-hal yang mubah (harus). Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan
untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram
seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2.
Pengembangan Harta (Tanmiyatul
Mal)
Pengembangan
harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah
dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki,
wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta.
Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui
cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam
bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan.
Pengelolaan
kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum itu adalah hak negara (Daulah
Islamiyah), kerana negara (Daulah Islamiyah) adalah wakil ummat. Meskipun
menyerahkan kepada negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelolanya, namun Allah
SWT telah melarang negara (Daulah Islamiyah) untuk mengelola kepemilikan umum
tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu.
Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal
tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.
Adapun
pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (Daulah
Islamiyah) dan kepemilikan individu, nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal
serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As
Syari' juga telah memperbolehkan negara (Daulah Islamiyah) dan individu untuk mengelola
masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau
diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lai Kerana edaran harta
kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga
berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme edaran harta
kekayaan terwujud dalam hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan
barang dan perkhidmatan bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan
dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (contohnya, bekerja) serta
akad-akad muamalah yang wajar (contohnya jual-beli dan ijarah).
Namun
demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan
terhadap suatu keperluan, boleh menyebabkan perbedaan edaran harta kekayaan
tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu
mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam edaran harta kekayaan.
Kemudian kesalahan tersebut akan membawa hanya harta kekayaan teredar kepada
segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi
akibat penimbunan harta, seperti emas dan perak.
Oleh kerana itu, syara' melarang
berputarnya kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan
perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
"Supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS.
Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara'
juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (harta kekayaan) meskipun
zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih." (QS. At-Taubah : 34)
III.II
Manajemen Zakat, Infaq,
Shadaqah, dan Wakaf
Zakat
menurut bahasa artinya adalah “berkembang” atau “pensucian”. Adapun menurut
syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan
pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan. Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya”, berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf. Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)”, berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah). Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan. Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah. Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali dengan shadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam kebiasaan para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
PERSYARATAN
UMUM UNTUK PENDAYAGUNAAN HARTA WAKAF
Karena aktivitas pendayagunan harta, sebagaimana biasanya, akan menemui dua
hal, keuntungan atau kerugian; dan mayoritas kegiatan pendayagunaan harta, baik
yang dilakukan oleh Negara ataupun badan usaha milik Negara, jika tidak sampai
rugi berat maka keadaannya tidak seperti yang diharapkan dan tidak pula
mencapai keadaan istimewa; dan karena harta wakaf adalah termasuk harta ummat
yang memiliki fungsi social umum; harta wakaf memiliki sifat-sifat khusus yang
tidak sama dengan harta manusia pada umumnya, maka kami memandang bahwa pandangan
para fuqaha (ulama ahli fiqih) yang mulia, seluruhnya mengatakan tidak bolehnya
mem-posting harta wakaf dalam program pendayagunaan dalam sektor usaha
jika hasilnya kecil atau tidak sebanding dengan nilai harta wakaf itu sendiri.
KRITERIA
PENGELOLA WAKAF DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGEMBANGAN WAKAF
Yang
dimaksud di sini adalah perusahaan atau lembaga harus memiliki aspek legalitas
hukum, independent, tidak memiliki ketergantungan dengan pemiliknya atau
serikatnya; adalah satu-satunya pihak yang memiliki hak dan kewajiban terhadap
harta wakaf tersebut; dan yang memiliki tanggung jawab secara terbatas hanya
kepada harta/modal tersebut semata.Model pengelolaan harta wakaf ini,
secara fiqh, dengan pengelolaan diserahkan kepada institusi independent telah
menciptakan perkembangan terhadap harta wakaf itu sendiri pada abad-abad
pertama Islam, dan telah memberikan sumbangan yang nyata kepa.da perkembangan
peradaban ummat Islam ini, mampu menjaga dan memelihara sebagian besar
kebutuhan asasi masyarakat Islam sebagaimana yang diinginkan oleh ummat dalam
sisi pengembangan, semisal pendirian dan pengelolaan sekolah-sekolah, perguruan
tinggi, rumah sakit-rumah sakit. Dan sebagian lembaga pengelola wakaf dan waris
khusus memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan amal dan layanan karitas (charity
services).
Maka, model
pengelolaan ini, secara fiqh, memiliki nilai lebih dalam 2 (dua) aktivitas:
pengelolaan harta wakaf dan layanan sosial, dan ini lebih unggul jika
dibandingkan dengan pengelolaan wakaf secara pribadi. Yang paling mencolok adalah bahwa
pengelolaan wakaf secara institusi, akan lebih kontinyu daripada jika dikelola
secara pribadi; lebih optimal dan lebih berkembang, lebih jelas dalam tahapan
pencapaian tujuan, lebih mudah untuk diaudit dan evaluasi, baik internal maupun
eksternal, serta bisa di-reform dalam sisi manajerialnya demi efektivitas audit
internal. Kesemuanya ini akan bermuara pada akselerasi dan perkembangan institusi-institusi pengelolaan
wakaf.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perekonomian Islam ialah ekonomi menurut undang-undang Islam. Adanya dua paradigma untuk memahami Perekonomian Islam,
dengan satunya menganggap rangka politik Islam (iaitu Khilafah), dan yang lain itu menganggap
rangka politik bukan Islam yang melahirkan suatu paradigma yang bertujuan untuk
menyepadukan sesetengah rukun Islam yang terkenal ke dalam sebuah ra sumber untuk mencapai negara memainkan peranan yang jelas
terhadap pengawasan, percukaian, pengurusan harta awam dan memastikan
peredaran kekayaanngka ekonomi sekular.
Paradigma pertama bertujuan untuk mentakrifkan
semula masalah ekonomi sebagai suatu masalah pengagihan:
- keperluan-keperluan asas dan
mewah para orang perseorangan di dalam masyarakat;
- membina pasaran etika yang
mempunyai persaingan kerjasama;
- memberikan ganjaran kepada
penyerta-penyerta kerana terdedah kepada risiko dan/atau liabiliti;
- membahagikan harta-harta secara adil antara kegunaan awam dan kegunaan peribadi; dan
4.2 Saran
Dari uraian diatas maka kami dari kelompok 9
menyarankan pembaca agar sebagai seorang muslim hendaknya kita melakukan
perekonomian yang sesuai dengan ajaran Islam serta kita sebagai seorang mukmin
wajib mengeluarkan zakat dan hendaknya kita juga mengeluarkan infaq dan sadaqoh
sebaga tabungan kita kelak di hari akhir karena kita telah ketahui bahwa salah
satu amal yang tidak akan terputus walaupun kita telah meninggal dunia yaitu infaq/sodaqoh
yang bermanfaat untuk kebaikan.
REFERENSI
·
Disampaikan pada acara Diskusi
Publik, yang diselenggara oleh Hizbut Tahrir Australia, di Masjid al-Hijrah,
Sydney, Australia.
- Istitsmar Al-Waqf wa Thuruquhu
Al-Qadimah wa Al-Haditsah, Prof. Dr. Ali Muhyiiddin Al-Qarrah Daghy,
Maktabah Misykah Al-Islamiyah (Guru Besar Fak. Syariah- Qatar University,
Anggota Majami’ Fiqhiyyah, Anggota Majelis Eropa untuk Fatwa dan
Penelitian Islam).
·
http://candra-pacitan.blogspot.com/2009/04/zakat-infaq-dan-shodaqoh.html
maf boleh kah aku mengambil inti dari makalah tersebut buat tugas kuliah saya trmakash
BalasHapus